Pukul 10 Malam di
sebuah kedai kopi daerah Harapan Indah Bekasi. Semua meja dipenuhi pengunjung
yang datang berpasang-pasangan. Mulai dari orang tua sampai anak remaja, mereka
menikmati malam minggu mereka bersama orang tercinta. Saling bercanda, berbagi
cerita atau sekedar melepas kerinduan yang ada. Kehangatan memenuhi ruang
berukuran 20 x 15 meter itu. Kolam air mancur mini yang menjadi Landmark
tempat ini pun terlihat indah menghias di tengah ruang.
Di sebuah meja nomor
38—dekat dengan jendela. Seorang wanita terlihat murung. Sedari tadi hanya
mengaduk secangkir kopi miliknya, yang entah kapan akan ia minum. Padahal sudah
30 menit berlalu sejak pelayan meletakkan kopi pesanannya itu di atas meja.
Pandangannya terbuang
kosong ke luar jendela. “Malam yang cerah.” gumamnya pelan. “Tapi kamu nggak
ada di sini ya … di samping ku.”
“Veny?” terdengar
suara seorang pria yang mendadak memanggil namanya—pelan.
Wanita bernama Veny
bergeming. Pandangannya masih menatap kosong ke luar jendela. Seperti menerawang
banyak hal tentang kenangannya di masa lalu—bersama seseorang.
“Ven? … Veny?” Pria
yang kini berada tepat di samping Veny mengulangi ucapannya lagi. Tangan
kanannya menepuk lembut bahu kiri Veny. Berharap wanita yang berada di
sampingnya itu tak lagi bergeming dan merespon panggilannya.
Dengan sedikit
terkaget karna tahu ada seseorang yang menepuk bahunya, Veny lantas mengarahkan
pandangannya ke arah empunya suara. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati
seseorang yang ia pikirkan dari tadi sekarang berada di dekatnya. Tepat di
sampingnya.
“Kamu?” Hanya itu
yang bisa Veny ucapkan. Seketika bibirnya terkunci—bisu. Selanjutnya ia tak
tahu harus mengatakan apa. Ini benar-benar mengejutkan baginya.
“Boleh aku duduk di
sini?”
Ucapan selanjutnya
dari pria itu kembali membuat Veny membatu. Ia hanya bisa mengangguk pertanda
di perbolehkannya pria itu duduk di hadapannya. Membiarkan bangku kosong di
meja itu kembali terisi.
Sunyi menyelimuti
meja nomor 38. Baik Veny maupun pria itu sama-sama bingung harus memulai
percakapan dari mana. Keduanya kini menunduk. Entah kenapa Veny tak kuat bila
harus melihat wajah pria yang ada di hadapannya. Ia malah sibuk mengaduk
kopinya yang tak lagi panas itu dengan cepat—pertanda gugup.
“Diaduk mulu kopinya.
Kapan diminumnya?” si pria memulai pembicaraan untuk mencairkan kebekuan
diantara mereka.
Veny bergeming.
Menatap cangkir. Tetap mengaduk kopinya.
“Jadi aku nggak
ditawarin pesan minuman nih?” ucap pria itu kembali.
Veny masih bergeming.
“Okeh okeh. Jadi
sekarang kamu bermetamorfosis jadi makhluk mamalia berjenis kelamin wanita yang
pelit, ya? … masa aku nggak ditawarin pesan minuman sih?” Pria itu merajuk.
Tapi tak sungguh-sungguh merajuk. Hanya lelucon ringan. Berharap bisa
mencairkan suasana.
Masih … Veny hanya
diam.
Pria itu menatap
dalam wanita yang ada dihadapannya. Wanita yang sedari tadi hanya diam. “Kamu …
gimana kabarnya? Masih Jomblo atau sudah punya pasangan?” hihihi.”
Veny tak menjawab.
“Heh. Diem mulu. Kamu
nggak lagi kesurupan kuntianak metal, kan? Pocong bumbu rendang? Suster ngesot
setengah mateng? Hantu jeruk purut kiloan? Atau tuyul bakar rasa keju?
Krik … krik … krik.
“Haaaa…. Aku tahu.”
Pria itu mendekatkan wajahnya lalu menyeringai. “Kamu pasti lagi nahan buang
air besar, ya? Hahaha. Ayo ngaku.”
Krik … krik … krik.
Mission Failed!
Veny masih aja diem.
“Okeh. Aku minta
maaf. Aku tau, mungkin kamu masih marah sama aku.” Ucap pria itu pelan. “Jadi
diem-dieman gini, ya? ….padahal kita jarang ketemu.”
Dan Veny tetap diam.
“Ven, jawab jujur.
Apa kamu masih suka sama aku? … apa kamu masih ngarepin aku?” mata pria itu
terkunci menatap Veny. “Tatap mata aku, Ven. Jangan buat aku selalu merasa
bersalah setiap kali ketemu kamu.”
Veny menghentikan
ritual mengaduk kopinya. Lalu meletakkan sendok kecil yang ia genggam di
sebelah cangkir kopinya. Kali ini … walau berat … tapi ia berusaha untuk
menjawab.
“Kamu … Ya, jujur.
Aku masih suka sama kamu. Aku masih sering ingat sama kamu. Aku masih kenang
semua hal indah yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Dan aku masih jadi Veny
yang dulu yang masih aja pertahanin kamu di sini.” Veny menunjuk hatinya. “
Walaupun aku tahu kalo kamu nggak pernah ngerasain dan nggak mungkin ngertiin
apa yang aku rasain.”
“Ven….” Raut wajah
pria itu surut. Melihat wanita dihadapannya berkata penuh emosional alih-alih
menahan tangis.
“Aku bodoh, kan? …
aku nggak tau kenapa aku nggak juga bisa ngelupain kamu.” Air matanya perlahan
keluar. “Lain sama kamu yang langsung bisa move-On dan lupain aku.”
“Ven….”
“Kamu nggak tau
sakitnya. Jadi please jangan pernah muncul lagi dihadapan aku!” ucapnya dengan
nada tinggi.
Tangis pun pecah.
Veny berdiri dan berjalan capat, keluar dari kedai kopi tersebut. Meninggalkan
pria yang kini hanya terdiam di meja nomor 38—sendirian.
***
Malam minggu kedai
kopi ini selalu ramai. Tapi meja nomor 38 itu selalu saja terlihat kontras
dengan meja-meja lainnya. Hanya ada seorang wanita berwajah murung yang
terduduk sendiri di sana. Mengaduk-aduk kopi dan membuang pandangan kosongnya
keluar jendela.
Malam ini hujan. Tapi
deras airnya tak terdengar di dalam ruang kedai berukuran 20 x 15 meter itu.
Apa yang dipikirkanya
masih sama seperti minggu atau bahkan bulan-bulan lalu. Pria yang ia tinggalkan
di meja ini sendiarian pada malam minggu dua bulan yang lalu.
“Maaf, Mbak.”
Lagi, seorang pria
menyapanya kali ini. Dan tetap sama, Veny tidak menyadari keberadaan pria itu
sehingga pria itu harus menepuk lembut pundak Veny agar wanita yang berada
disampingnya ini mengetahui keberadaannya.
“Eh, Iya.” Veny
tersadar dari lamunannya dan langsung mengarahkan pandangannya ke empunya
suara.
Ternyata hanya
seorang pelayan yang hendak memberikan sebuah amplop berwarna putih polos
kepada Veny. Sebuah amplop yang isinya cukup tebal.
“Apa ini, Mas?”
“Nggak tau, Mbak.
Tadi sore ada mas mas yang minta tolong ke saya untuk ngasih amplop ini ke
seorang wanita yang konon katanya sering duduk di meja ini kalo setiap malam
minggu. Dan yang saya tau selama sebulan saya kerja di sini … ya Cuma Mbak yang
duduk di meja ini setiap malam minggu.” Jelas pelayan tersebut.
Veny tersenyum kecil
dan menerima amplop itu. “O gitu, Mas. Terimakasih ya.”
“Sama-sama, Mbak.”
Pelayan tersebut kembali menuju dapur.
Veny membuka amplop
itu. Di dalamnya terdapat lipatan surat dan sebuah amplop kecil berwarna
jingga.
Dibukanya lipatan
surat tersebut dan dibacanya perlahan.
***
Teruntuk Veny Amelia.
“Apa kabar, Ven?” Aku
tak pernah bosan bertanya hal itu setiap kali bertemu dengan kamu.
Kedengarannya emang basi. Tapi sungguh, hal pertama yang ingin aku tau adalah
keadaan mu. Tapi Boong deh. Wkwkwk… jangan Baper ya.
Meski begitu, sebagai
mantan yang baik, aku selalu berharap agar kamu baik-baik aja.
Melalui surat ini,
ada banyak hal yang ingin aku ucapkan ke kamu. Tentang maaf dan terimakasih.
Terimakasih karna
kamu pernah melukiskan kebahagiaan pada lembar-lembar kehidupanku sebelumnya.
Terimakasih untuk kegigihanmu yang tak pernah berhenti mencintai ku.
Terimakasih untuk semua deh pokoknya. Sorry nggak bisa aku sebutin satu per
satu. Takut nggak muat di kertasnya. Hehehe.
Dan maaf … maaf untuk
semua rasa kecewa yang justru aku kasih ke kamu. Maaf karna pada akhirnya aku
nggak bisa terus-terusan sama kamu. Maaf karna udah tega selingkuhin kamu. Dan
maaf untuk semua hal bodoh yang udah aku lakukan ke kamu.
Seperti apa yang kamu
pinta ke aku dua bulan yang lalu, di meja tempat kamu duduk sekarang ini. Di
meja nomor 38. Tempat pertama kali kita ketemu, dan akhirnya pacaran. Juga
tempat dimana aku dengan teganya mutusin kamu karna ada orang lain yang udah
ngisi hati aku dan menggantikan tempat kamu di hati aku.
Aku sadis, ya? …
kayak judul lagunya Afgan. Hahaha.
Silahkan kalo kamu
mau marah dan membenci aku seumur hidup kamu. Tapi inilah aku. Dan seperti apa
yang kamu pinta, mulai sekarang, aku nggak akan lagi muncul di hadapan kamu.
NGGAK AKAN PERNAH! … toh aku juga udah nggak cinta lagi sama kamu. Jadi buat
apa aku muncul di hadapan kamu? Hahaha.
Karna itu lah, lebih
baik kamu cepat-cepat move-On deh dari aku. Aku kasih tau ya. Aku udah pindah
tempat tinggal dan sekarang udah hidup bahagia sama cewek yang aku cinta. Udah
nikah gitu lho. Ish ish ish … dilarang iri ya. Hahaha.
Sebagai bukti, itu
undangannya ada di dalam amplop warna jingga. Sory kalo baru sekarang
ngasihnya. Kalo ngasih undangannya sebelum hari H, takutnya kamu datang dan berubah
jadi Monster Musang Ekor Sembilan (kayak Naruto) terus obrak-abrik acara
pernikahan aku deh. Serem akh bayanginnya. Jadi aku putusin buat nggak undang
kamu.
Udah itu aja. Cepet
cepet move-On ya. Biar nggak jadi Jomblo menahun.
Kapan kamu mau
bahagia? … aku aja udah bahagia di sini. Hahaha.
Selamat Tinggal, Veny
Amelia.
Dari Aku. Mantan kamu
yang udah bahagia. ^^-
***
“Cowok Bang*at!
An*ing! Ba*i! Bajing*n! Bia*ab!” Teriak Veny sesaat setelah membaca surat
tersebut.
Lantas dirobeknya
surat itu menjadi berkeping-keping. Sontak apa yang dilakukan Veny mengundang
perhatian orang sekitar. “Apa lo pada ngeliatin gue? … Nggak pernah ngeliat
cewek marah-marah ya?!” ucapnya dengan nada tinggi kepada orang-orang yang
heran dengan kelakuannya yang absurd.
“Okeh. Lo kira gue
nggak bisa ngelupain cowok berengsek macem lo! Liat aja, gue bakal bisa move-On
dari lo secepat mungkin! Gue nyesel udah bertahan lama Cuma buat jadi mainan
lo! Gue Benci lo! Benci lo Seumur Hidup Gue!” Veny pun pergi dari meja
tersebut. Meninggalkan amplop kecil berwarna jingga yang belum sempat ia buka.
***
Sebulan berlalu.
Minggu, pukul tiga dini hari. Kedai kopi yang beberapa jam lalu ramai
pengunjung kini telah sepi. Seorang pria duduk di hadapan meja nomor 38.
Memandangi meja itu sekali lagi.
“Jadi gimana, Dim?
Udah sebulan meja itu nggak ada yang ngisi karna lo selalu melarang perngunjung
buat duduk di meja itu.” Tanya seorang pria lain yang duduk di atas meja tak
jauh dari meja nomor 38.
“Udah gue putusin,
Bro. Selama kedai kopi ini masih ada, meja itu bakal gue biarin tetap pada
tempatnya.” Jelas Pria bernama Dimas itu. Pria pemilik kedai kopi tersebut.
“Ini karna permintaan
temen lo yang udah meninggal itu ya, Dim?” tanya pria yang duduk di atas meja
sekali lagi.
“Yup. Lo bener. Dia itu
sohib gue dari bayi. Jadi Cuma ini yang bisa gue lakukan buat dia. Menuruti
permintaan terakhirnya. Meja itu udah di-booking sama dia sampe kedai
ini bangkrut. Gue harap sih jangan sampe bangkrut juga nih kedai. Ntar anak
bini gue mau dikasih makan apa coba?”
“Hahaha…. Terus tuh
meja mau lo apain?”
“Mau gue kasih papan
tulis. Terus gue suruh deh pengunjung nulis nama mereka dan nama pasangan
mereka seraya berdo’a harapan mereka kedepannya mau kayak apa. Bakal gue kasih
nama meja itu sebagai Meja Cinta Sejati Nomor 38. Yaaa … kayak gembok cinta
yang ada di ancol itu. Gimana? Keren kan ide gue?
“Hahaha. Terserah lo
deh. Kedai-kedai lo. Mau lo apain juga bebas. Gue mah sebagai karyawan di sini
ngikutin aja apa kata perintah Big Bos.”
“Njir. Baru nyadar
kalo gue Big Bos di sini.”
Dan Ketawa renyah
dari kedua pria itu mengisi sepinya kedai di penghujung malam.
***
Siang di sebuah
pemakaman umum. Matahari berada tepat diatas ubun-ubun bumi. Hari yang panas,
tapi rimbunnya pepohonan Melinjo, Kamboja dan Melati yang banyak tumbuh di area
makam mampu memberikan rasa teduh dan menjadi payung alami yang menghalangi
teriknya sinar matahari.
Dimas masih
mengenakan Tuxedo berwarna hitam dan rapi. Ia turun dari mobilnya.
“Mah, tunggu di sini
dulu ya.” ucap Dimas kepada istrinya.
“Hmm…. Lain dah yang
mau silaturahmi sama temen. Istri sampe nggak boleh ikut ke dalem.”
“Hehehe…. Ini rahasia
antara pasukan pembela bumi. Jadi dilarang ada yang tau. Okeh, papah nggak lama
koq.”
Dimas berjalan
melalui area makam. Menuju kearah salah satu makam yang terletak di dekat pohon
melati. Setelah sampai pada makam tersebut Dimas berjongkok dan menyingkirkan
daun-daun kering yang berserakan di atas makam dan batu nisan.
“Bro, gue dateng lagi
ke rumah lo. Abis dari acara resepsi pernikahannya Veny nih. Cewek yang lo
cinta. Seandainya aja lo ada di TKP … wajahnya Veny bahagia banget. Bro. Tapi
dari sono lo juga bisa ngeliat, kan? … Kalo nggak bisa ngeliat, bilang sama
gue. Ntar gue kirimin foto atau video 3gp nya deh. Kalo perlu yang MP4 sekalian.
Biar kualistasnya gambarnya bagus. Ntar lo setel di sono ya.” Ucapnya sembari
tersenyum simpul.
Angin berhembus
sejuk.
“Seandainya penyakit
lo masih bisa diobatin. Seandainya Tuhan ngasih perpanjangan waktu lebih lama
buat lo hidup di dunia ini … mungkin yang gue lihat tadi adalah pernikahan Veny
sama lo, bukan sama orang lain. Dan gue nggak harus ada di sini Cuma buat
ngejenguk lo.” Dimas menahan kalimatnya. “Dan tentang Misi yang lo kasih ke gue
… sukses, Bro.”
“Bener kata lo,
seandainya kita nggak ngelakuin Misi rahasia ini, mungkin Veny ntar malem masih
aja asik ngejogrok di meja nomor 38 sendirian, mikirin lo, dan nggak bisa
move-On dari lo. Apalagi kalo dia sampe tau sebenarnya lo ninggalin dia bukan
karna selingkuh atau karna ada cewek lain, tapi emang karna Tuhan aja yang
nggak nakdirin lo berdua buat selalu bersama. Huft … pasti dia bakal
memproklamirkan dirinya sebagai Jomblo seumur hidup dan terkenal sebagai cewek
yang selalu galau, gundah gulana, serta merana. Ngenes amet gue ngebayanginnya.”
“udah, gue Cuma mau
nyampein itu aja. Baik-baik ya di sana. Semoga lo juga bahagia, karna tau bahwa
orang yang lo cinta akhirnya sekarang bisa bahagia.”
“Gue pulang dulu ya.
Istri udah nungguin di mobil soalnya. Ntar kapan-kapan gue main lagi ke sini. Hehehe.”
Dimas kembali menuju
mobilnya dan mengendarai mobil tersebut keluar meninggalkan wilayah pemakaman.
***
Menjelang malam,
pesta pernikahan Veny semakin meriah. Pada akhirnya dia bisa melupakan
sepenuhnya Pria yang pernah menyakiti hatinya dan bisa kembali hidup dengan
wajar. Terlebih lagi malam ini adalah malam pernikannya yang mampu membuat
perasaannya semakin bahagia.
Terlihat Veny sedang
asik mengobrol dengan teman-temannya. Mereka saling berbagi cerita dan bercanda
tawa.
“Cie cie cie. Yang
ntar malem bakal ngerasain malem pertama. Besok cerita ya ke gue gimana
rasanya. Hihihi.” ucap salah seorang temannya.
“Et dah si Anggi.
Mangkanya buru-buru suruh Raihan buat halalin lo. Pacaran lama amat. Udah kayak
kredit rumah.” sahut teman yang lainnya.
“Yeee… dasar Della
oneng. Bentar lagi juga Raihan bakal ngelamar gue koq.”
“Kapan Nggi? … nunggu
ladang gandum dihujani coklat dan jadilah kokokerans? Hahahaha.”
“Ish…. Ikut-ikutan
aja lo Syah. Lo sendiri statusnya masih digantung sama si Onyen kan? Hahahaha.”
“Udah-udah jangan
pada berantem.” Ucap Veny sok menghentikan perdebatan teman-temannya—sambil
ikut terkekeh.
“Si Asih Mana ya? Koq
nggak keliatan sih?” tanya teman yang satunya lagi.
“Kenapa Aryanti temen
gue yang pendiem. Lo kangen ya sama Asih?”
“Kangen, tapi Cuma
dikit. Hehehehe.”
“Gue nggak tau deh.
Coba lo tanya aja sama Elita.”
“Eh, gue juga nggak
tau. Nggi.”
“Ou kalo si Asih tadi
siang udah dateng bareng suaminya.” Jelas Veny.
“Suaminya? Siapa Ven?”
tanya Anggi pura-pura Amnesia.
“Ya Dimas lah. Emang
mau siapa lagi?” Jawab semua teman-temanya serentak. Dan mereka pun kembali
tertawa.
Beberapa waktu
berselang sampai pembawa acara meminta mempelai wanita dan mempelai pria
kembali ke pelaminan untuk melakukan Foto bersama. “Buat mempelai wanitanya, Veny
Amelia dan mempelai prianya, Iqbal Alamsyah Pratama, di mohon kembali ke
pelaminan untuk melakukan ritual Foto bareng tamu undangan.
Veny meninggalkan
teman-temannya untuk kembali ke pelaminan. “Khusus buat kalian, temen-temen gue
yang otaknya setengah mateng. Foto bareng nya belakangan aja ya. Biar greget.”
“Atur aja Ven. Acara
acara lo. Kita mah ikut aja.” Sahut temannya.
Semuanya tertawa,
kecuali Della. Yang sedang mengingat-ingat sesuatu. “Lo bisa liat kan. Semua
sesuai rencana lo. Semua berjalan sama seperti apa yang lo mau.” Ucapnya sambil
menatap langit malam yang cerah.
***
Flashback setahun
yang lalu.
Angin pantai yang
bertiup kencang menyapu rambut Della yang panjang. Di sebelahnya ada seorang
pria berambut pendek duduk diatas kursi Roda. Mereka berdua berada di ujung
dermaga. Menyaksikan jingga langit. Menunggu matahari terbenam seluruhnya.
“Ri…. Masa harus
kayak gini sih? … kenapa nggak kita kasih tau aja yang sebenarnya sama Veny?”
tanya Della.
“Dasar Della bodoh …
cepat menunduk.” Dan pria itu menjitak pelan kening Della.
“Ish… Sakit Ri! geram
Della sembari mengelus-elus keningnya.
“Lo udah temenan
berapa lama sih sama Veny?”
“Ya udah lama lha
Ri.”
“Masa lo masih nggak
apal sama sifatnya dia.”
“Hmm….” Della
menundukkan sedikit kepalanya. Membuang tatapannya ke ombak laut yang saling
berkejaran. Sedikit banyaknya dia tahu apa maksud dari temannya ini. Tentang
Veny yang terlalu terobsesi dengan rasa cintanya kepada sosok Pria yang
sekarang berada disampingnya. Tentang Veny yang dulu mau menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan hati Cowok idamannya itu. Tentang Veny yang mau bertahan
lama meski tahu telah di selingkuhi. Meski kisah perselingkuhan itu sendiri
hanya lah bagian sandiwara yang telah di ciptakan oleh Sosok Pria yang sangat
dicintai Veny tersebut.
“Yang gue takutin
bukan Rencana Tuhan yang cepat atau lambat bakal nyuruh gue untuk pulang.” Pria
itu menengadah. Menatap jauh ke ujung langit senja. “Yang gue takutin dia bakal
merasa sedih berkelanjutan lalu menyalahkan Tuhan, menganggap Tuhan nggak adil
karna udah memisahkan dia dengan gue. Dan menutup hatinya untuk orang lain.
Setelah itu berusaha menjalani hidup seorang diri.”
Della hanya bisa
mendengarkan. Matanya tetap memandang ombak laut.
“Kedengarannya gue
ini kepedean ya jadi cowok. Sampe ada cewek yang suka sama gue segitu gilanya.”
Pria itu tersenyum tipis. “Tapi itu lah Veny yang gue kenal selama dua Tahun
belakangan ini.”
“…….”
“Jadi lho bisa ngerti
kan kenapa gue ngelakuin semua ini?”
“Tapi nyatanya dia
tetap bertahan sama lho kan?” ucap Della.
“Hahaha…. Nggak tau
juga deh. Tapi tadi malam dia udah bilang nggak mau ketemu lagi sama gue koq.”
“Itu kan yang lo tau.
Tapi lo nggak tau kan kalo semalem Veny nginep di rumah gue dan sukses bikin
gue begadang Cuma buat dengerin curhatannya yang nggak bisa move-On dari lo.” Ucap
Della sinis.
“Eh, Gitu ya? Jadi
gue masih gagal dong?”
“YUP!”
“Fiuh…. Susah juga
ya.” Pria itu mengelus kepalanya tanda bingung. “Eits. Tapi tenang. Masih ada
planning terakhir. Dan gue yakin ini pasti berhasil.”
“Yakin banget lho?”
“Yakin lah. Secinta
apapun orang sama kita, kalo kita udah nikah sama orang lain. Mereka pasti
mundur. Gue bener kan?”
“Iya juga sih?” Della
sedikit berfikir. “Tapi lo mau nikah sama siapa?”
“Huft…. Nggak nikah
beneran juga kali Del. Cuma sandiwara doang. Boong boongan.”
“Nikah Kontrak maksud
lho?”
“Auah…. Susah
pokoknya kalo jelasin ke lo.”
“Lo ngeremehin
kinerja otak gue, Ri?” sinis Della.
“Bukan ngeremehin …
lebih tepatnya Me-ra-gu-kan.” Jelas Pria itu sembari terkekeh.
Della pun hanya
pasang muka cemberut.
Matahari hampir
tenggelam seluruhnya. Angin pantai pun terasa bertambah dingin. Della
merekatkan jaket warna biru yang dikenakannya.
“Untuk rencana gue
kali ini, gue udah minta tolong sama Dimas. Jadi lo tenang aja Del. Pokoknya
gue pastiin kalo temen lo nggak bakal gundah gulana sepeninggal gue nanti.”
Ucap Pria itu yakin.
“Udah keq Ri. Nggak
usah ngomong lo bakal pergi terus. Nggak enak banget didengernya tau.” Della
merajuk.
“Kesiniin kepala lo
Del.”
“Nggak akh. Ngapain?
Mau lo jitak lagi?” Della menutup keningnya.
“Hahahaha…. Nggak
jadi deh. Lupakan. Padahal tadi niatnya mau gue cium. Jarang-jarang kan gue
nyium kening lo?”
“Dih … Najis dah gue
di cium sama lo.”
Pria itu tertawa
terbahak melihat ekspresi Della yang menurutnya lucu.
Ombak masih
berkejaran. Burung-burung senja mulai ramai keluar kandang.
“Gue Pamit Del.” Ucap
pria itu pelan.
“Udah deh Ri. Gue tau
lo sakit. Tapi lo harusnya optimis dong buat sembuh. Bukannya bersikap pesimis
terus kayak gini.”
“Maaf Del…. Tapi kali
ini gue beneran pengen pamit sama lo. Gue juga udah pamit ke Dimas. Thanks udah
mau jadi temen gue. Udah mau bantuin gue ini itu. Dan udah mau ngertiin gue.
Pokoknya lo berdua sohib gue deh. Hehehe.”
“……..” Della hanya
terdiam.
“Udah gue putusin,
besok gue pulang kampung. Kangen gue sama kakek nenek gue. Pengen ziarah juga
ke makam nyokap. Sekalian pesen makam di sono.” Pria itu tersenyum. “Gue capek
Del. Pengen cepet-cepet istirahat di samping almarhum nyokap.”
Della masih
bergeming. Matanya berkaca-kaca.
“Udah deh. Nggak usah
lebay. Pake mau nangis segala. Jangan nangis akh. Di sini nggak ada yang jualan
balon sama permen lolipop lho Del.”
“Apaan sih Ri.
Emangnya gue balita apa? Pake nyinggung-nyinggung tukang balon sama permen
lolipop.” Della menghapus air mata yang sudah keluar sedikit dan langsung
menjitak kepala Pria itu.
“Aduh! Lho Del? Koq
lo malah jitak kepala gue?” geram pria itu menahan sakit.
“Hahaha…. Biarin. Gue
kan nggak pernah jitak kepala lo. Itung-itung ini pembalasan dari gue karna lo
sering jitakin kepala gue.”
“Tapi kan gue
jitaknya pelan Del! … pelan banget malah. Tapi kenapa lo jitak gue kenceng
banget! Sakitnya sampe ke ubun-ubun nih. Kalo gue gegar otak gimana? Mau
tanggung jawab lo?” ucapnya meringis.
Della tersenyum dan
menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. “Kenapa sih lo mau berkorban
kayak gini? … dibenci dan dilupain sama orang yang kita cintai itu kan rasanya
nggak enak banget Ri.
“Nggak tau juga Del.
Yang pasti gue Cuma nggak mau orang yang gue sayang bersedih.”
“Tapi semua sandiwara
lo yang duain dia dan sandiwara-sandiwara lainnya? Bukannya itu udah bikin dia
sedih?” Della mengernyitkan dahi.
“Cuma sebentar Del.
Tapi setelah dia bisa membenci dan ngelupain gue? Semua akan kembali kayak
semula lagi koq. Dia bisa jadi Veny yang lo kenal. Sabar aja. Nggak lama koq.
Saat-saat itu pasti dateng.”
“Semoga ya Ri.”
“Iya Del.”
Maha Agung Tuhan yang
melukis indahnya langit senja sore itu. Hamparan warna jingga yang bersenyawa
dengan biru tua samudra. Ombak-ombak nakal yang saling kejar-mengejar, juga
burung-burung petang yang berceloteh ringan di atas awan. Sungguh kesatuan
harmoni semesta yang menentramkan.
***
Flashback semua
ingatan Della setahun yang lalu pun berakhir. Tanpa terasa air matanya kembali
menetes perlahan.
“Eh, Del. Lo nangis?”
tanya Elita yang kebingungan.
“Eh…. Nggak koq Lit.”
Della langsung menyeka matanya yang mulai sembab. “Kelilipan debu nih kayaknya.
Perih banget.”
“Sini biar gue
tiupin”
“Nggak usah Lit… udah
nggak papa koq. Hehehehe.”
“Woy! Lo Pada mau
Foto bareng gue nggak?” Teriak Veny dari pelaminan.
“Wihhh. Yoi dong. Pasti
mau. Kuy lah.” Ucap Anggi.
“Ayo Del. Bengong aja
Lo.”
“Eh, iya.”
Sesi Foto bareng
mereka akhirnya menutup kisah ini. Apa yang menjadi keinginan Pria yang namanya
sengaja gue samarkan akhirnya terwujud. Orang yang dicintainya kini bisa
tersenyum bahagia penuh kebebasan, melihat masa depan tanpa harus terkunci oleh
kenangan bersamanya di masa yang telah lalu.
Terkadang … ada saat
dimana kau merasa bahwa kebahagiaan orang yang kau sayangi lebih berharga dari
pada kebahagiaan mu sendiri. Rasa yang membuat mu rela mengorbankan apapun
untuk mewujudkannya … akan membuat mu mengerti tentang esensi Berkorban yang
sebenarnya.
Berkorban bukan
berarti menghilangkan kebahagiaan. Tapi merelakan sebuah kebahagiaan untuk
menciptakan kebahagiaan baru yang lebih indah.
Ya, untuk menciptakan
Kebahagiaan orang lain atau pun kebahagiaan orang-orang yang kau cinta.
Thanks udah mau baca cerpen gue.
Salam Indomie Goreng
Kuah.
Jakarta, 13 Desember 2016
Penulis : Andria Tama