Saturday, December 31, 2016

Di Penghujung Tahun

Sajak ku tak baru.
Meski malam nanti Tahun berganti
Mimpiku tak ku ubah.
Meski malam nanti 12 Bulan dilahap ratusan ribu kembang api.

Aku tetap menjadi aku.
Aku tetap pada mimpiku dahulu.
Mimpi yang tetap menjadi mimpi.

Kan ku biarkan mimpiku itu mengudara malam nanti.
Bercengkrama dengan mimpi-mimpi manusia lainnya.
Menggantung pada pekatnya tirai langit.
Agar lebih dekat dengan Tuhan.

Aku ingin Tuhan tahu mimpiku.
Yang tak juga nyata,
Sejak pertama aku melukisnya.


Jakarta, 31 Desember 2016
Penulis : Andria Tama (Crb Komandan Kodok)

Tuesday, December 13, 2016

MEJA NOMOR 38



Pukul 10 Malam di sebuah kedai kopi daerah Harapan Indah Bekasi. Semua meja dipenuhi pengunjung yang datang berpasang-pasangan. Mulai dari orang tua sampai anak remaja, mereka menikmati malam minggu mereka bersama orang tercinta. Saling bercanda, berbagi cerita atau sekedar melepas kerinduan yang ada. Kehangatan memenuhi ruang berukuran 20 x 15 meter itu. Kolam air mancur mini yang menjadi Landmark tempat ini pun terlihat indah menghias di tengah ruang.
Di sebuah meja nomor 38—dekat dengan jendela. Seorang wanita terlihat murung. Sedari tadi hanya mengaduk secangkir kopi miliknya, yang entah kapan akan ia minum. Padahal sudah 30 menit berlalu sejak pelayan meletakkan kopi pesanannya itu di atas meja.
Pandangannya terbuang kosong ke luar jendela. “Malam yang cerah.” gumamnya pelan. “Tapi kamu nggak ada di sini ya … di samping ku.”
“Veny?” terdengar suara seorang pria yang mendadak memanggil namanya—pelan.
Wanita bernama Veny bergeming. Pandangannya masih menatap kosong ke luar jendela. Seperti menerawang banyak hal tentang kenangannya di masa lalu—bersama seseorang.
“Ven? … Veny?” Pria yang kini berada tepat di samping Veny mengulangi ucapannya lagi. Tangan kanannya menepuk lembut bahu kiri Veny. Berharap wanita yang berada di sampingnya itu tak lagi bergeming dan merespon panggilannya.
Dengan sedikit terkaget karna tahu ada seseorang yang menepuk bahunya, Veny lantas mengarahkan pandangannya ke arah empunya suara. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati seseorang yang ia pikirkan dari tadi sekarang berada di dekatnya. Tepat di sampingnya.
“Kamu?” Hanya itu yang bisa Veny ucapkan. Seketika bibirnya terkunci—bisu. Selanjutnya ia tak tahu harus mengatakan apa. Ini benar-benar mengejutkan baginya.
“Boleh aku duduk di sini?”
Ucapan selanjutnya dari pria itu kembali membuat Veny membatu. Ia hanya bisa mengangguk pertanda di perbolehkannya pria itu duduk di hadapannya. Membiarkan bangku kosong di meja itu kembali terisi.
Sunyi menyelimuti meja nomor 38. Baik Veny maupun pria itu sama-sama bingung harus memulai percakapan dari mana. Keduanya kini menunduk. Entah kenapa Veny tak kuat bila harus melihat wajah pria yang ada di hadapannya. Ia malah sibuk mengaduk kopinya yang tak lagi panas itu dengan cepat—pertanda gugup.
“Diaduk mulu kopinya. Kapan diminumnya?” si pria memulai pembicaraan untuk mencairkan kebekuan diantara mereka.
Veny bergeming. Menatap cangkir. Tetap mengaduk kopinya.
“Jadi aku nggak ditawarin pesan minuman nih?” ucap pria itu kembali.
Veny masih bergeming.
“Okeh okeh. Jadi sekarang kamu bermetamorfosis jadi makhluk mamalia berjenis kelamin wanita yang pelit, ya? … masa aku nggak ditawarin pesan minuman sih?” Pria itu merajuk. Tapi tak sungguh-sungguh merajuk. Hanya lelucon ringan. Berharap bisa mencairkan suasana.
Masih … Veny hanya diam.
Pria itu menatap dalam wanita yang ada dihadapannya. Wanita yang sedari tadi hanya diam. “Kamu … gimana kabarnya? Masih Jomblo atau sudah punya pasangan?” hihihi.”
Veny tak menjawab.
“Heh. Diem mulu. Kamu nggak lagi kesurupan kuntianak metal, kan? Pocong bumbu rendang? Suster ngesot setengah mateng? Hantu jeruk purut kiloan? Atau tuyul bakar rasa keju?
Krik … krik … krik.
“Haaaa…. Aku tahu.” Pria itu mendekatkan wajahnya lalu menyeringai. “Kamu pasti lagi nahan buang air besar, ya? Hahaha. Ayo ngaku.”
Krik … krik … krik.
Mission Failed!
Veny masih aja diem.
“Okeh. Aku minta maaf. Aku tau, mungkin kamu masih marah sama aku.” Ucap pria itu pelan. “Jadi diem-dieman gini, ya? ….padahal kita jarang ketemu.”
Dan Veny tetap diam.
“Ven, jawab jujur. Apa kamu masih suka sama aku? … apa kamu masih ngarepin aku?” mata pria itu terkunci menatap Veny. “Tatap mata aku, Ven. Jangan buat aku selalu merasa bersalah setiap kali ketemu kamu.”
Veny menghentikan ritual mengaduk kopinya. Lalu meletakkan sendok kecil yang ia genggam di sebelah cangkir kopinya. Kali ini … walau berat … tapi ia berusaha untuk menjawab.
“Kamu … Ya, jujur. Aku masih suka sama kamu. Aku masih sering ingat sama kamu. Aku masih kenang semua hal indah yang pernah kita lewatin bareng-bareng. Dan aku masih jadi Veny yang dulu yang masih aja pertahanin kamu di sini.” Veny menunjuk hatinya. “ Walaupun aku tahu kalo kamu nggak pernah ngerasain dan nggak mungkin ngertiin apa yang aku rasain.”
“Ven….” Raut wajah pria itu surut. Melihat wanita dihadapannya berkata penuh emosional alih-alih menahan tangis.
“Aku bodoh, kan? … aku nggak tau kenapa aku nggak juga bisa ngelupain kamu.” Air matanya perlahan keluar. “Lain sama kamu yang langsung bisa move-On dan lupain aku.”
“Ven….”
“Kamu nggak tau sakitnya. Jadi please jangan pernah muncul lagi dihadapan aku!” ucapnya dengan nada tinggi.
Tangis pun pecah. Veny berdiri dan berjalan capat, keluar dari kedai kopi tersebut. Meninggalkan pria yang kini hanya terdiam di meja nomor 38—sendirian.


***
Malam minggu kedai kopi ini selalu ramai. Tapi meja nomor 38 itu selalu saja terlihat kontras dengan meja-meja lainnya. Hanya ada seorang wanita berwajah murung yang terduduk sendiri di sana. Mengaduk-aduk kopi dan membuang pandangan kosongnya keluar jendela.
Malam ini hujan. Tapi deras airnya tak terdengar di dalam ruang kedai berukuran 20 x 15 meter itu.
Apa yang dipikirkanya masih sama seperti minggu atau bahkan bulan-bulan lalu. Pria yang ia tinggalkan di meja ini sendiarian pada malam minggu dua bulan yang lalu.


“Maaf, Mbak.”
Lagi, seorang pria menyapanya kali ini. Dan tetap sama, Veny tidak menyadari keberadaan pria itu sehingga pria itu harus menepuk lembut pundak Veny agar wanita yang berada disampingnya ini mengetahui keberadaannya.
“Eh, Iya.” Veny tersadar dari lamunannya dan langsung mengarahkan pandangannya ke empunya suara.
Ternyata hanya seorang pelayan yang hendak memberikan sebuah amplop berwarna putih polos kepada Veny. Sebuah amplop yang isinya cukup tebal.
“Apa ini, Mas?”
“Nggak tau, Mbak. Tadi sore ada mas mas yang minta tolong ke saya untuk ngasih amplop ini ke seorang wanita yang konon katanya sering duduk di meja ini kalo setiap malam minggu. Dan yang saya tau selama sebulan saya kerja di sini … ya Cuma Mbak yang duduk di meja ini setiap malam minggu.” Jelas pelayan tersebut.
Veny tersenyum kecil dan menerima amplop itu. “O gitu, Mas. Terimakasih ya.”
“Sama-sama, Mbak.” Pelayan tersebut kembali menuju dapur.
Veny membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat lipatan surat dan sebuah amplop kecil berwarna jingga.
Dibukanya lipatan surat tersebut dan dibacanya perlahan.


***
Teruntuk Veny Amelia.
“Apa kabar, Ven?” Aku tak pernah bosan bertanya hal itu setiap kali bertemu dengan kamu. Kedengarannya emang basi. Tapi sungguh, hal pertama yang ingin aku tau adalah keadaan mu. Tapi Boong deh. Wkwkwk… jangan Baper ya.
Meski begitu, sebagai mantan yang baik, aku selalu berharap agar kamu baik-baik aja.
Melalui surat ini, ada banyak hal yang ingin aku ucapkan ke kamu. Tentang maaf dan terimakasih.
Terimakasih karna kamu pernah melukiskan kebahagiaan pada lembar-lembar kehidupanku sebelumnya. Terimakasih untuk kegigihanmu yang tak pernah berhenti mencintai ku. Terimakasih untuk semua deh pokoknya. Sorry nggak bisa aku sebutin satu per satu. Takut nggak muat di kertasnya. Hehehe.
Dan maaf … maaf untuk semua rasa kecewa yang justru aku kasih ke kamu. Maaf karna pada akhirnya aku nggak bisa terus-terusan sama kamu. Maaf karna udah tega selingkuhin kamu. Dan maaf untuk semua hal bodoh yang udah aku lakukan ke kamu.
Seperti apa yang kamu pinta ke aku dua bulan yang lalu, di meja tempat kamu duduk sekarang ini. Di meja nomor 38. Tempat pertama kali kita ketemu, dan akhirnya pacaran. Juga tempat dimana aku dengan teganya mutusin kamu karna ada orang lain yang udah ngisi hati aku dan menggantikan tempat kamu di hati aku.
Aku sadis, ya? … kayak judul lagunya Afgan. Hahaha.
Silahkan kalo kamu mau marah dan membenci aku seumur hidup kamu. Tapi inilah aku. Dan seperti apa yang kamu pinta, mulai sekarang, aku nggak akan lagi muncul di hadapan kamu. NGGAK AKAN PERNAH! … toh aku juga udah nggak cinta lagi sama kamu. Jadi buat apa aku muncul di hadapan kamu? Hahaha.
Karna itu lah, lebih baik kamu cepat-cepat move-On deh dari aku. Aku kasih tau ya. Aku udah pindah tempat tinggal dan sekarang udah hidup bahagia sama cewek yang aku cinta. Udah nikah gitu lho. Ish ish ish … dilarang iri ya. Hahaha.
Sebagai bukti, itu undangannya ada di dalam amplop warna jingga. Sory kalo baru sekarang ngasihnya. Kalo ngasih undangannya sebelum hari H, takutnya kamu datang dan berubah jadi Monster Musang Ekor Sembilan (kayak Naruto) terus obrak-abrik acara pernikahan aku deh. Serem akh bayanginnya. Jadi aku putusin buat nggak undang kamu.
Udah itu aja. Cepet cepet move-On ya. Biar nggak jadi Jomblo menahun.
Kapan kamu mau bahagia? … aku aja udah bahagia di sini. Hahaha.
Selamat Tinggal, Veny Amelia.
Dari Aku. Mantan kamu yang udah bahagia. ^^-


***
“Cowok Bang*at! An*ing! Ba*i! Bajing*n! Bia*ab!” Teriak Veny sesaat setelah membaca surat tersebut.
Lantas dirobeknya surat itu menjadi berkeping-keping. Sontak apa yang dilakukan Veny mengundang perhatian orang sekitar. “Apa lo pada ngeliatin gue? … Nggak pernah ngeliat cewek marah-marah ya?!” ucapnya dengan nada tinggi kepada orang-orang yang heran dengan kelakuannya yang absurd.
“Okeh. Lo kira gue nggak bisa ngelupain cowok berengsek macem lo! Liat aja, gue bakal bisa move-On dari lo secepat mungkin! Gue nyesel udah bertahan lama Cuma buat jadi mainan lo! Gue Benci lo! Benci lo Seumur Hidup Gue!” Veny pun pergi dari meja tersebut. Meninggalkan amplop kecil berwarna jingga yang belum sempat ia buka.


***
Sebulan berlalu. Minggu, pukul tiga dini hari. Kedai kopi yang beberapa jam lalu ramai pengunjung kini telah sepi. Seorang pria duduk di hadapan meja nomor 38. Memandangi meja itu sekali lagi.
“Jadi gimana, Dim? Udah sebulan meja itu nggak ada yang ngisi karna lo selalu melarang perngunjung buat duduk di meja itu.” Tanya seorang pria lain yang duduk di atas meja tak jauh dari meja nomor 38.
“Udah gue putusin, Bro. Selama kedai kopi ini masih ada, meja itu bakal gue biarin tetap pada tempatnya.” Jelas Pria bernama Dimas itu. Pria pemilik kedai kopi tersebut.
“Ini karna permintaan temen lo yang udah meninggal itu ya, Dim?” tanya pria yang duduk di atas meja sekali lagi.
“Yup. Lo bener. Dia itu sohib gue dari bayi. Jadi Cuma ini yang bisa gue lakukan buat dia. Menuruti permintaan terakhirnya. Meja itu udah di-booking sama dia sampe kedai ini bangkrut. Gue harap sih jangan sampe bangkrut juga nih kedai. Ntar anak bini gue mau dikasih makan apa coba?”
“Hahaha…. Terus tuh meja mau lo apain?”
“Mau gue kasih papan tulis. Terus gue suruh deh pengunjung nulis nama mereka dan nama pasangan mereka seraya berdo’a harapan mereka kedepannya mau kayak apa. Bakal gue kasih nama meja itu sebagai Meja Cinta Sejati Nomor 38. Yaaa … kayak gembok cinta yang ada di ancol itu. Gimana? Keren kan ide gue?
“Hahaha. Terserah lo deh. Kedai-kedai lo. Mau lo apain juga bebas. Gue mah sebagai karyawan di sini ngikutin aja apa kata perintah Big Bos.”
“Njir. Baru nyadar kalo gue Big Bos di sini.”
Dan Ketawa renyah dari kedua pria itu mengisi sepinya kedai di penghujung malam.



***
Siang di sebuah pemakaman umum. Matahari berada tepat diatas ubun-ubun bumi. Hari yang panas, tapi rimbunnya pepohonan Melinjo, Kamboja dan Melati yang banyak tumbuh di area makam mampu memberikan rasa teduh dan menjadi payung alami yang menghalangi teriknya sinar matahari.
Dimas masih mengenakan Tuxedo berwarna hitam dan rapi. Ia turun dari mobilnya.
“Mah, tunggu di sini dulu ya.” ucap Dimas kepada istrinya.
“Hmm…. Lain dah yang mau silaturahmi sama temen. Istri sampe nggak boleh ikut ke dalem.”
“Hehehe…. Ini rahasia antara pasukan pembela bumi. Jadi dilarang ada yang tau. Okeh, papah nggak lama koq.”
Dimas berjalan melalui area makam. Menuju kearah salah satu makam yang terletak di dekat pohon melati. Setelah sampai pada makam tersebut Dimas berjongkok dan menyingkirkan daun-daun kering yang berserakan di atas makam dan batu nisan.
“Bro, gue dateng lagi ke rumah lo. Abis dari acara resepsi pernikahannya Veny nih. Cewek yang lo cinta. Seandainya aja lo ada di TKP … wajahnya Veny bahagia banget. Bro. Tapi dari sono lo juga bisa ngeliat, kan? … Kalo nggak bisa ngeliat, bilang sama gue. Ntar gue kirimin foto atau video 3gp nya deh. Kalo perlu yang MP4 sekalian. Biar kualistasnya gambarnya bagus. Ntar lo setel di sono ya.” Ucapnya sembari tersenyum simpul.
Angin berhembus sejuk.
“Seandainya penyakit lo masih bisa diobatin. Seandainya Tuhan ngasih perpanjangan waktu lebih lama buat lo hidup di dunia ini … mungkin yang gue lihat tadi adalah pernikahan Veny sama lo, bukan sama orang lain. Dan gue nggak harus ada di sini Cuma buat ngejenguk lo.” Dimas menahan kalimatnya. “Dan tentang Misi yang lo kasih ke gue … sukses, Bro.”
“Bener kata lo, seandainya kita nggak ngelakuin Misi rahasia ini, mungkin Veny ntar malem masih aja asik ngejogrok di meja nomor 38 sendirian, mikirin lo, dan nggak bisa move-On dari lo. Apalagi kalo dia sampe tau sebenarnya lo ninggalin dia bukan karna selingkuh atau karna ada cewek lain, tapi emang karna Tuhan aja yang nggak nakdirin lo berdua buat selalu bersama. Huft … pasti dia bakal memproklamirkan dirinya sebagai Jomblo seumur hidup dan terkenal sebagai cewek yang selalu galau, gundah gulana, serta merana. Ngenes amet gue ngebayanginnya.”
“udah, gue Cuma mau nyampein itu aja. Baik-baik ya di sana. Semoga lo juga bahagia, karna tau bahwa orang yang lo cinta akhirnya sekarang bisa bahagia.”
“Gue pulang dulu ya. Istri udah nungguin di mobil soalnya. Ntar kapan-kapan gue main lagi ke sini. Hehehe.”
Dimas kembali menuju mobilnya dan mengendarai mobil tersebut keluar meninggalkan wilayah pemakaman.



***
Menjelang malam, pesta pernikahan Veny semakin meriah. Pada akhirnya dia bisa melupakan sepenuhnya Pria yang pernah menyakiti hatinya dan bisa kembali hidup dengan wajar. Terlebih lagi malam ini adalah malam pernikannya yang mampu membuat perasaannya semakin bahagia.
Terlihat Veny sedang asik mengobrol dengan teman-temannya. Mereka saling berbagi cerita dan bercanda tawa.
“Cie cie cie. Yang ntar malem bakal ngerasain malem pertama. Besok cerita ya ke gue gimana rasanya. Hihihi.” ucap salah seorang temannya.
“Et dah si Anggi. Mangkanya buru-buru suruh Raihan buat halalin lo. Pacaran lama amat. Udah kayak kredit rumah.” sahut teman yang lainnya.
“Yeee… dasar Della oneng. Bentar lagi juga Raihan bakal ngelamar gue koq.”
“Kapan Nggi? … nunggu ladang gandum dihujani coklat dan jadilah kokokerans? Hahahaha.”
“Ish…. Ikut-ikutan aja lo Syah. Lo sendiri statusnya masih digantung sama si Onyen kan? Hahahaha.”
“Udah-udah jangan pada berantem.” Ucap Veny sok menghentikan perdebatan teman-temannya—sambil ikut terkekeh.
“Si Asih Mana ya? Koq nggak keliatan sih?” tanya teman yang satunya lagi.
“Kenapa Aryanti temen gue yang pendiem. Lo kangen ya sama Asih?”
“Kangen, tapi Cuma dikit. Hehehehe.”
“Gue nggak tau deh. Coba lo tanya aja sama Elita.”
“Eh, gue juga nggak tau. Nggi.”
“Ou kalo si Asih tadi siang udah dateng bareng suaminya.” Jelas Veny.
“Suaminya? Siapa Ven?” tanya Anggi pura-pura Amnesia.
“Ya Dimas lah. Emang mau siapa lagi?” Jawab semua teman-temanya serentak. Dan mereka pun kembali tertawa.
Beberapa waktu berselang sampai pembawa acara meminta mempelai wanita dan mempelai pria kembali ke pelaminan untuk melakukan Foto bersama. “Buat mempelai wanitanya, Veny Amelia dan mempelai prianya, Iqbal Alamsyah Pratama, di mohon kembali ke pelaminan untuk melakukan ritual Foto bareng tamu undangan.
Veny meninggalkan teman-temannya untuk kembali ke pelaminan. “Khusus buat kalian, temen-temen gue yang otaknya setengah mateng. Foto bareng nya belakangan aja ya. Biar greget.”
“Atur aja Ven. Acara acara lo. Kita mah ikut aja.” Sahut temannya.
Semuanya tertawa, kecuali Della. Yang sedang mengingat-ingat sesuatu. “Lo bisa liat kan. Semua sesuai rencana lo. Semua berjalan sama seperti apa yang lo mau.” Ucapnya sambil menatap langit malam yang cerah.



***
Flashback setahun yang lalu.
Angin pantai yang bertiup kencang menyapu rambut Della yang panjang. Di sebelahnya ada seorang pria berambut pendek duduk diatas kursi Roda. Mereka berdua berada di ujung dermaga. Menyaksikan jingga langit. Menunggu matahari terbenam seluruhnya.
“Ri…. Masa harus kayak gini sih? … kenapa nggak kita kasih tau aja yang sebenarnya sama Veny?” tanya Della.
“Dasar Della bodoh … cepat menunduk.” Dan pria itu menjitak pelan kening Della.
“Ish… Sakit Ri! geram Della sembari mengelus-elus keningnya.
“Lo udah temenan berapa lama sih sama Veny?”
“Ya udah lama lha Ri.”
“Masa lo masih nggak apal sama sifatnya dia.”
“Hmm….” Della menundukkan sedikit kepalanya. Membuang tatapannya ke ombak laut yang saling berkejaran. Sedikit banyaknya dia tahu apa maksud dari temannya ini. Tentang Veny yang terlalu terobsesi dengan rasa cintanya kepada sosok Pria yang sekarang berada disampingnya. Tentang Veny yang dulu mau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hati Cowok idamannya itu. Tentang Veny yang mau bertahan lama meski tahu telah di selingkuhi. Meski kisah perselingkuhan itu sendiri hanya lah bagian sandiwara yang telah di ciptakan oleh Sosok Pria yang sangat dicintai Veny tersebut.
“Yang gue takutin bukan Rencana Tuhan yang cepat atau lambat bakal nyuruh gue untuk pulang.” Pria itu menengadah. Menatap jauh ke ujung langit senja. “Yang gue takutin dia bakal merasa sedih berkelanjutan lalu menyalahkan Tuhan, menganggap Tuhan nggak adil karna udah memisahkan dia dengan gue. Dan menutup hatinya untuk orang lain. Setelah itu berusaha menjalani hidup seorang diri.”
Della hanya bisa mendengarkan. Matanya tetap memandang ombak laut.
“Kedengarannya gue ini kepedean ya jadi cowok. Sampe ada cewek yang suka sama gue segitu gilanya.” Pria itu tersenyum tipis. “Tapi itu lah Veny yang gue kenal selama dua Tahun belakangan ini.”
“…….”
“Jadi lho bisa ngerti kan kenapa gue ngelakuin semua ini?”
“Tapi nyatanya dia tetap bertahan sama lho kan?” ucap Della.
“Hahaha…. Nggak tau juga deh. Tapi tadi malam dia udah bilang nggak mau ketemu lagi sama gue koq.”
“Itu kan yang lo tau. Tapi lo nggak tau kan kalo semalem Veny nginep di rumah gue dan sukses bikin gue begadang Cuma buat dengerin curhatannya yang nggak bisa move-On dari lo.” Ucap Della sinis.
“Eh, Gitu ya? Jadi gue masih gagal dong?”
“YUP!”
“Fiuh…. Susah juga ya.” Pria itu mengelus kepalanya tanda bingung. “Eits. Tapi tenang. Masih ada planning terakhir. Dan gue yakin ini pasti berhasil.”
“Yakin banget lho?”
“Yakin lah. Secinta apapun orang sama kita, kalo kita udah nikah sama orang lain. Mereka pasti mundur. Gue bener kan?”
“Iya juga sih?” Della sedikit berfikir. “Tapi lo mau nikah sama siapa?”
“Huft…. Nggak nikah beneran juga kali Del. Cuma sandiwara doang. Boong boongan.”
“Nikah Kontrak maksud lho?”
“Auah…. Susah pokoknya kalo jelasin ke lo.”
“Lo ngeremehin kinerja otak gue, Ri?” sinis Della.
“Bukan ngeremehin … lebih tepatnya Me-ra-gu-kan.” Jelas Pria itu sembari terkekeh.
Della pun hanya pasang muka cemberut.
Matahari hampir tenggelam seluruhnya. Angin pantai pun terasa bertambah dingin. Della merekatkan jaket warna biru yang dikenakannya.
“Untuk rencana gue kali ini, gue udah minta tolong sama Dimas. Jadi lo tenang aja Del. Pokoknya gue pastiin kalo temen lo nggak bakal gundah gulana sepeninggal gue nanti.” Ucap Pria itu yakin.
“Udah keq Ri. Nggak usah ngomong lo bakal pergi terus. Nggak enak banget didengernya tau.” Della merajuk.
“Kesiniin kepala lo Del.”
“Nggak akh. Ngapain? Mau lo jitak lagi?” Della menutup keningnya.
“Hahahaha…. Nggak jadi deh. Lupakan. Padahal tadi niatnya mau gue cium. Jarang-jarang kan gue nyium kening lo?”
“Dih … Najis dah gue di cium sama lo.”
Pria itu tertawa terbahak melihat ekspresi Della yang menurutnya lucu.
Ombak masih berkejaran. Burung-burung senja mulai ramai keluar kandang.
“Gue Pamit Del.” Ucap pria itu pelan.
“Udah deh Ri. Gue tau lo sakit. Tapi lo harusnya optimis dong buat sembuh. Bukannya bersikap pesimis terus kayak gini.”
“Maaf Del…. Tapi kali ini gue beneran pengen pamit sama lo. Gue juga udah pamit ke Dimas. Thanks udah mau jadi temen gue. Udah mau bantuin gue ini itu. Dan udah mau ngertiin gue. Pokoknya lo berdua sohib gue deh. Hehehe.”
“……..” Della hanya terdiam.
“Udah gue putusin, besok gue pulang kampung. Kangen gue sama kakek nenek gue. Pengen ziarah juga ke makam nyokap. Sekalian pesen makam di sono.” Pria itu tersenyum. “Gue capek Del. Pengen cepet-cepet istirahat di samping almarhum nyokap.”
Della masih bergeming. Matanya berkaca-kaca.
“Udah deh. Nggak usah lebay. Pake mau nangis segala. Jangan nangis akh. Di sini nggak ada yang jualan balon sama permen lolipop lho Del.”
“Apaan sih Ri. Emangnya gue balita apa? Pake nyinggung-nyinggung tukang balon sama permen lolipop.” Della menghapus air mata yang sudah keluar sedikit dan langsung menjitak kepala Pria itu.
“Aduh! Lho Del? Koq lo malah jitak kepala gue?” geram pria itu menahan sakit.
“Hahaha…. Biarin. Gue kan nggak pernah jitak kepala lo. Itung-itung ini pembalasan dari gue karna lo sering jitakin kepala gue.”
“Tapi kan gue jitaknya pelan Del! … pelan banget malah. Tapi kenapa lo jitak gue kenceng banget! Sakitnya sampe ke ubun-ubun nih. Kalo gue gegar otak gimana? Mau tanggung jawab lo?” ucapnya meringis.
Della tersenyum dan menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. “Kenapa sih lo mau berkorban kayak gini? … dibenci dan dilupain sama orang yang kita cintai itu kan rasanya nggak enak banget Ri.
“Nggak tau juga Del. Yang pasti gue Cuma nggak mau orang yang gue sayang bersedih.”
“Tapi semua sandiwara lo yang duain dia dan sandiwara-sandiwara lainnya? Bukannya itu udah bikin dia sedih?” Della mengernyitkan dahi.
“Cuma sebentar Del. Tapi setelah dia bisa membenci dan ngelupain gue? Semua akan kembali kayak semula lagi koq. Dia bisa jadi Veny yang lo kenal. Sabar aja. Nggak lama koq. Saat-saat itu pasti dateng.”
“Semoga ya Ri.”
“Iya Del.”
Maha Agung Tuhan yang melukis indahnya langit senja sore itu. Hamparan warna jingga yang bersenyawa dengan biru tua samudra. Ombak-ombak nakal yang saling kejar-mengejar, juga burung-burung petang yang berceloteh ringan di atas awan. Sungguh kesatuan harmoni semesta yang menentramkan.



***
Flashback semua ingatan Della setahun yang lalu pun berakhir. Tanpa terasa air matanya kembali menetes perlahan.
“Eh, Del. Lo nangis?” tanya Elita yang kebingungan.
“Eh…. Nggak koq Lit.” Della langsung menyeka matanya yang mulai sembab. “Kelilipan debu nih kayaknya. Perih banget.”
“Sini biar gue tiupin”
“Nggak usah Lit… udah nggak papa koq. Hehehehe.”
“Woy! Lo Pada mau Foto bareng gue nggak?” Teriak Veny dari pelaminan.
“Wihhh. Yoi dong. Pasti mau. Kuy lah.” Ucap Anggi.
“Ayo Del. Bengong aja Lo.”
“Eh, iya.”
Sesi Foto bareng mereka akhirnya menutup kisah ini. Apa yang menjadi keinginan Pria yang namanya sengaja gue samarkan akhirnya terwujud. Orang yang dicintainya kini bisa tersenyum bahagia penuh kebebasan, melihat masa depan tanpa harus terkunci oleh kenangan bersamanya di masa yang telah lalu.

Terkadang … ada saat dimana kau merasa bahwa kebahagiaan orang yang kau sayangi lebih berharga dari pada kebahagiaan mu sendiri. Rasa yang membuat mu rela mengorbankan apapun untuk mewujudkannya … akan membuat mu mengerti tentang esensi Berkorban yang sebenarnya.
Berkorban bukan berarti menghilangkan kebahagiaan. Tapi merelakan sebuah kebahagiaan untuk menciptakan kebahagiaan baru yang lebih indah.
Ya, untuk menciptakan Kebahagiaan orang lain atau pun kebahagiaan orang-orang yang kau cinta.


Thanks udah mau baca cerpen gue.
Salam Indomie Goreng Kuah.

Jakarta, 13 Desember 2016
Penulis : Andria Tama

Sunday, September 11, 2016

D-O

Pagi tadi di ruang kepala sekolah.
Gaduh.
Yang ku dengar hanya nada tinggi seorang bapak.
Mengemis.

Aku keluar dari ruang ku.
Seorang ibu yang tak ku kenal wajahnya, berdiri.
Ketika berkata, ucapannya pun sama dengan si bapak.
Mengemis.

Ku edar pandangan ku luas.
Menyetubuhi setiap lekuk ruang persegi itu.
Melihat seorang bocah berseragam putih abu-abu.
Jongkok di sudut ruang.
Diam.

Ou....
Bocah itu?
Aku tahu.

Dia yang lupa makan lupa sekolah.
Doyan nge-game di warnet sebelah.

Ou....
Bocah itu?
Aku tahu.

Si Psikopat.
Di mulutnya terjejal waktu yang membangkai.
Selalu kentut bila dinasehati.

Kepala sekolah tegas.
Sekolah punya peraturan.
Tak taati peraturan?
Keluarkan!

Tugu peringatan bagi murid lain.
Sekolah bukan toko kelontong.
Yang semua bisa ditawar.
Sekolah bukan penjara para koruptor!
Ada uang lalu maafkan.

Si bapak dan si ibu diam.
Berjalan gontai lewati gerbang.
Ucapkan salam perpisahan pada cita-cita.
Memandang cemas ke depan.

"Sampai kapan hidup kami terkurung pada petak-petak kemiskinan?"

"Sedang anak kami yang menjadi ladang pengharapan,
Malah di keluarkan dari sekolahan.
Sedang anak kami yang menjadi penyambung mimpi-mimpi,
Malah asik mabuk di meja judi!"

Selamat, bocah.
Hari ini kau berhasil melumuri wajah orang tua mu dengan kotoran.

Selamat, bocah.
Seperti inikah cara mu menyapu keringat mereka berdua?

Selamat, bocah.
Semoga masa depan mu bukanlah deretan komplek pekuburan.



Jakarta, 9 September 2016
Penulis : Andria Tama (Crb Komandan Kodok)